Menurut Maramis (1998: 63) Kebutuhan dan dorongan merupakan dua faktor penting yang mempengaruhi perilaku seorang manusia.
Hidup manusia ditandai oleh usaha-usaha pemenuhan kebutuhan, baik fisik, mental-emosional, material maupun spiritual. Bila kebutuhan dapat dipenuhi dengan baik, berarti tercapai keseimbangan dan kepuasan. Tetapi pada kenyataannya seringkali usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut mendapat banyak rintangan dan hambatan.
Tekanan-tekanan dan kesulitan-kesulitan hidup ini sering membawa manusia berada dalam keadaan stress. Stress dapat dialami oleh segala lapisan umur.
Stress dapat bersifat fisik, biologis dan psikologis. Kuman-kuman penyakit yang menyerang tubuh manusia menimbulkan stress biologis yang menimbulkan berbagai reaksi pertahanan tubuh. Sedangkan stress psikologis dapat bersumber dari beberapa hal yang dapat menimbulkan gangguan rasa sejahtera dan keseimbangan hidup.
SUMBER STRES
Sumber stress dapat digolongkan dalam bentuk-bentuk:
1. Krisis
Krisis adalah perubahan/peristiwa yang timbul mendadak dan menggoncangkan keseimbangan seseorang diluar jangkauan daya penyesuaian sehari-hari. Misalnya: krisis di bidang usaha, hubungan keluarga dan sebagainya.
2. Frutrasi
Frustrasi adaah kegagalan dalam usaha pemuasan kebutuhan-kebutuhan/dorongan naluri, sehingga timbul kekecewaan. Frutrasi timbul bila niat atau usaha seseorang terhalang oleh rintangan-rintangan (dari luar: kelaparan, kemarau, kematian, dan sebagainya dan dari dalam: lelah, cacat mental, rasa rendah diri dan sebagainya) yang menghambat kemajuan suatu cita-cita yang hendak dicapainya.
3. Konflik
Konflik adalah pertentangan antara 2 keinginan/dorongan yaitu antara kekuatan dorongan naluri dan kekuatan yang mengenalikan dorongan-dorongan naluri tersebut.
4. Tekanan
Stress dapat ditimbulkan tekanan yang berhubungan dengan tanggung jawab yang besar yang harus ditanggungnya. (Dari dalam diri sendiri: cita-cita, kepala keluarga, dan sebagainya dan dari luar: istri yang terlalu menuntut, orangtua yang menginginkan anaknya berprestasi).
AKIBAT STRESS
Akibat stress tergantung dari reaksi seseorang terhadap stress. Umumnya stress yang berlarut-larut menimbulkan perasaan cemas, takut, tertekan, kehilangan rasa aman, harga diri terancam, gelisah, keluar keringat dingin, jantung sering berdebar-debar, pusing, sulit atau suka makan dan sulit tidur). Kecemasan yang berat dan berlangsung lama akan menurunkan kemampuan dan efisiensi seseorang dalam menjalankan fungsi-fungsi hidupnya dan pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai macam gangguan jiwa.
PENANGGULANGAN STRESS
· Mengenal dan menyadari sumber-sumber stress.
· Membina kedewasaan kepribadian melalui pendidikan dan pengalaman hidup.
· Mengembangan hidup sehat. Antara lain dengan cara: merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, tidak tergesa-gesa ingin mencapai keinginannya, menyadari perbedaan antara keinginan dan kebutuhan, dan sebagain
· ya.
· Mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk segala sesuatu yang terjadi dengan tetap beriman kepadaNYa.
· Minta bimbingan kepada sahabat dekat, orang-orang yang lebih dewasa, psikolog, orang yang dewasa rohaninya, dan sebagainya).
· Hindarkan sikap-sikap negatif antara lain: memberontak terhadap keadaan, sikap apatis, marah-marah. Hal-hal tersebut tidak menyelesaikan masalah tetapi justru membuka masalah baru.
Kamis, Juni 19, 2008
Senin, Juni 16, 2008
DEPRESI
Depresi didefinisikan secara berbeda dengan kesedihan. Menurut Burns (1988), kesedihan adalah suatu emosi nomal yang diciptakan oleh persepsi realistik yang menggambarkan suatu peristiwa negatif dengan cara yang tidak terdistorsi. Sedangkan depresi adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh pemikiran yang terdistorsi. Jadi dalam hal ini Burns menekankan pada perbedaan cara pandang seseorang terhadap suatu peristiwa negatif yang dialaminya, dimana perbedaan tersebut akan mempengaruhi kondisi psikologis individu didalam menanggapi realita yang ada.
Depresi dan kesedihan juga dapat dibedakan dari ukuran beat tidaknya tekanan jiwa yang dialami individu (Hinton, 1980). Tekanan jiwa yang berat akan mendatangkan beberapa variasi keluhan, mulai dari kesedihan ringan sampai pada keadaan dimana individu kehilangan semua minat terhadap aktifitas sehari-hari, yang juga tergantung pad adaya tahan individu yang bersangkutan. Suatu keadaan depresi dapat diketahui dari gejala dan tanda spesifik yang penting, yang mengganggu kewajaran sikap dan tindakan seseorang.
Depresi sebagai Reaksi terhadap Stres
Beberapa penelitian mengenai stres menujukkan bahwa terdapat hubungan antara stres kehidupan dengan gangguan psikiatris. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Backman menyatakan bahwa, tanpa memandang status sosial ekonomi, semakin besar stress yang dialami individu, maka akan semakin besar pula resiko terjadinya gangguan psikiatris. Stressor yang dapat menimbulkan gangguian psikiatris tersebut bisa bermacam-macam bentuknya, seperti yang dinyatakan dalam penelitian Markush dan Favero, bahwa sterssor dalam bentuk peubahan kehidupan dapat menimbulkan suaana hati yang depresif dan gejal-gejala psikofisiologis (Ilfield, 1977).
Proses yang menghubungkan anatara stress dengan depresi dijelaskan oleh Zimbardo (dalam Ester Wuryaningsih, 1990) dalam model of stress yang menunjukkan bahwa individu akan melakukan berbagai bentuk reaksi terhadap stress yang dihadapi. Sumber-sumber stress dan stressor yang terjadi pada diri individu ataupun dalam lingkungannya, secara kognitif akan diproses oleh individu dimana proses kognitif yang terjadi akan dipengaruhi oleh karakteristik fisik, psikologis, dan budaya individu yang bersangkutan. Dengan proses kognitif itu, maka individu akan memberikan reaksi tertentu terhadap stress.
Depresi sebagai Gangguan Emosional dan Kognitif
Depresi dapat diawali oleh kesedihan yang normal sebagai reaksi terhadap suatu peristiwa yang menyedihkan, namun bila kesedihan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama maka emosi normal yang terjadidapat berubah menjkadi suatu gangguan yang disertai oleh gejal-gejala yang lain (Wittig, 1984). Gejala-gejala gangguan yang tampak pad individu yang mengalami depresi tersebut berakar dri adanya gangguan afek dan emosi yang menyebabkan fungsi individu menjadi terganggu.
Terdapat beberapa kriteria untuk menentukan apakan sesorang mengalami depresi atau tidak. Menurut Mandels (dalam Mears, 1984), seseorang dikatakan depresi jika ia mengalami gejala-gejala seperti rsa rsedih, pesimis, membenci diri sendiri, kehilangan energi, konsentrasi dan motivasi. Selain itu individu juga kehilangan nafsu makan, beat badan turun, terjadi gangguan tidur, kehilangan dorongan seks, dan selalu ingin menghindari orang lain. Gejala-gejala depresi yang dikemukakan oleh Mnedels tersebut mengarah pada suatu kesimpulan bahwa seseorang dikatakan depresi apabila ia mengalami gangguan emosional yang berpengaruh terhadap suasana hati, cara berpikir, fungsi tubuh serta perilaku. Saat depresi , suasana hati individu diliputi rasa sedih, murung, cemas dan tertekan. Individu bahkan kehilangan minat dan gairah dalam melakukan bebagai aktifitas.
Definisi lain yang menyatakan depresi se4bagai gangguan emosional diungkapkan oleh Maramis (1998) yang menyatakan bahwa depresi adalah gangguan emosi yang diikuti oleh beberapa komponen psikologis seperti rasa sedih, rasa tidak berguna, tidak ada harapan, putus asa, dan penyesalan yang patologis. Perasaan depresi yang terjadi tersebut pada awalnya adalah merupakan emosi normal sebagai tanggapan alamiah atas kegagalan atau kehilangan yang dialami, namun karena terjadi secara berlebihan, emosi normal tersebut berubah menjadi keadaan depresi. Dinyatakan oleh Birren (1990), depresi melibatkan efek akibat dari kegagalan atau kehilangan itu terhadap emosi individu dan arti kehilangan tersebut bagi individu yang bersangkutan.
Selain sebagai gangguan emosi, depresi juga dinyatakan sebagai gangguan kognitif. Teori kognitif berasumsi bahwa depresi disebabkan karena bentuk-bentuk pemikiran yang tidak logis. Individu yang mengalami depresi cenderung berpikir dengan cara yang menyimpang dimana penyimpangan ini akan menimbulkan masalah baru, memperburuk keadaan yang ada, serta menyebabkan perputaran yang meningkatkan depresi.
Menurut pendekatan kognitif, individu yang mengalami depresi seringkali memiliki koginisi yang negatif, lebih suka memikirkan dirinya sendiri sehubungan dengan masa lalu yang negatif yang mungkin tidak ada hubungannya dengan saat ini dan dengan prediksi keadaan dimasa yang akan datang. Penelitian yang dilakukan oleh Beck menghasilkan suatu kesimpulan bahwa keadan depresi pasti melibatkan suatu gangguan dalam pemikiran. Individu yang mengalami depresi memandang dirinya sebagai seorang yang “kalah”, sebgai pribadi yang tidak mampu, serta sebgai individu yang sudah ditakdirkan akan selalu mengalami frustasi, kekurangan, dan kegagalan (Burns, 1988).
Beck (dalam Carson, 1996) juga menyatakan bahwa pengalaman pada masa kanak-kanak dan remaja berperan penting dalam pembentukan depression-producing beliefs yang dibentuk melalui pengalamannya bersama orang tua dan orang lain yang dianggap penting (significant others). Seorang anak yang tidak memiliki orang tua atau yang mendapat pola asuh yang buruk dari orang tuanya, akan mengembangkan suatu keyakinan yang disebut sebagai deprssogenic schemas. Apabila dysfunctional belief tersebut diaktifkan oleh stressor yang ada pada saat ini, maka inidividu yang bersangkutan akan segera memunculkan negative cognitive triad, yakni suatu keyakinan yang sifatnya pesimistik yang meliputi:
1. pandangan yang negatif terhadap diri sendiri (self)
2. pandang yang negatif terhadap pengalaman dan dunia di sekitarnya
3. pandangan negatif terhadap masa depan
Negative cognitive triad ini cenderung untuk selalu ada pada individu yang mengalami depresi, karena adanya bebeapa distorsi dalam pemikiran orang-orang yang mengalami depresi yang meliputi:
1. Dichotomus or all-or-one reasioning. Adalah suatu kecenderungan untuk berpikir secara ekstrem. Misalnya: “apabila saya tidak dapat mengerjakannya dengan benar 100%, maka lebih baik saya tidak mengerjakannya sama sekali.
2. Selective Abstraction. Adalah kecenderungan untuk memfokuskan pada suatu kejadian negatif dengan mengabaikan elemen yang lainnya. Misalnya: “saya tidak mengalami hal yang menyenangkan hari ini.” Ungkapan tersebut karena individu hanya mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan yang dirasakannya hari itu.
3. Arbritary inference. Adalah suatu kecenderungan untuk menyimpulkan sesuatu yang hanya didasarkan pada suatu hal yang kecil. Misalnya penderita depresi yang tidak berhasil menyelesaikan suatu tugas dari terapisnya mengatakan: “terapis ini tidak penah menyelesaikan pemasalahanku”.
4. Overgeneralization. Adalah suatu kecenderungan untuk menarik kesimpulan tentang nilai dan kemampuan sesorang atau suatu fenomena semata-mata berdasarkan pada suatu kejadian atau kejadian-kejadian kecil yang ada di sekelilingnya. Misalnya: “semua yang saya lakukan selalu salah”.
Depresi dan kesedihan juga dapat dibedakan dari ukuran beat tidaknya tekanan jiwa yang dialami individu (Hinton, 1980). Tekanan jiwa yang berat akan mendatangkan beberapa variasi keluhan, mulai dari kesedihan ringan sampai pada keadaan dimana individu kehilangan semua minat terhadap aktifitas sehari-hari, yang juga tergantung pad adaya tahan individu yang bersangkutan. Suatu keadaan depresi dapat diketahui dari gejala dan tanda spesifik yang penting, yang mengganggu kewajaran sikap dan tindakan seseorang.
Depresi sebagai Reaksi terhadap Stres
Beberapa penelitian mengenai stres menujukkan bahwa terdapat hubungan antara stres kehidupan dengan gangguan psikiatris. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Backman menyatakan bahwa, tanpa memandang status sosial ekonomi, semakin besar stress yang dialami individu, maka akan semakin besar pula resiko terjadinya gangguan psikiatris. Stressor yang dapat menimbulkan gangguian psikiatris tersebut bisa bermacam-macam bentuknya, seperti yang dinyatakan dalam penelitian Markush dan Favero, bahwa sterssor dalam bentuk peubahan kehidupan dapat menimbulkan suaana hati yang depresif dan gejal-gejala psikofisiologis (Ilfield, 1977).
Proses yang menghubungkan anatara stress dengan depresi dijelaskan oleh Zimbardo (dalam Ester Wuryaningsih, 1990) dalam model of stress yang menunjukkan bahwa individu akan melakukan berbagai bentuk reaksi terhadap stress yang dihadapi. Sumber-sumber stress dan stressor yang terjadi pada diri individu ataupun dalam lingkungannya, secara kognitif akan diproses oleh individu dimana proses kognitif yang terjadi akan dipengaruhi oleh karakteristik fisik, psikologis, dan budaya individu yang bersangkutan. Dengan proses kognitif itu, maka individu akan memberikan reaksi tertentu terhadap stress.
Depresi sebagai Gangguan Emosional dan Kognitif
Depresi dapat diawali oleh kesedihan yang normal sebagai reaksi terhadap suatu peristiwa yang menyedihkan, namun bila kesedihan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang relatif lama maka emosi normal yang terjadidapat berubah menjkadi suatu gangguan yang disertai oleh gejal-gejala yang lain (Wittig, 1984). Gejala-gejala gangguan yang tampak pad individu yang mengalami depresi tersebut berakar dri adanya gangguan afek dan emosi yang menyebabkan fungsi individu menjadi terganggu.
Terdapat beberapa kriteria untuk menentukan apakan sesorang mengalami depresi atau tidak. Menurut Mandels (dalam Mears, 1984), seseorang dikatakan depresi jika ia mengalami gejala-gejala seperti rsa rsedih, pesimis, membenci diri sendiri, kehilangan energi, konsentrasi dan motivasi. Selain itu individu juga kehilangan nafsu makan, beat badan turun, terjadi gangguan tidur, kehilangan dorongan seks, dan selalu ingin menghindari orang lain. Gejala-gejala depresi yang dikemukakan oleh Mnedels tersebut mengarah pada suatu kesimpulan bahwa seseorang dikatakan depresi apabila ia mengalami gangguan emosional yang berpengaruh terhadap suasana hati, cara berpikir, fungsi tubuh serta perilaku. Saat depresi , suasana hati individu diliputi rasa sedih, murung, cemas dan tertekan. Individu bahkan kehilangan minat dan gairah dalam melakukan bebagai aktifitas.
Definisi lain yang menyatakan depresi se4bagai gangguan emosional diungkapkan oleh Maramis (1998) yang menyatakan bahwa depresi adalah gangguan emosi yang diikuti oleh beberapa komponen psikologis seperti rasa sedih, rasa tidak berguna, tidak ada harapan, putus asa, dan penyesalan yang patologis. Perasaan depresi yang terjadi tersebut pada awalnya adalah merupakan emosi normal sebagai tanggapan alamiah atas kegagalan atau kehilangan yang dialami, namun karena terjadi secara berlebihan, emosi normal tersebut berubah menjadi keadaan depresi. Dinyatakan oleh Birren (1990), depresi melibatkan efek akibat dari kegagalan atau kehilangan itu terhadap emosi individu dan arti kehilangan tersebut bagi individu yang bersangkutan.
Selain sebagai gangguan emosi, depresi juga dinyatakan sebagai gangguan kognitif. Teori kognitif berasumsi bahwa depresi disebabkan karena bentuk-bentuk pemikiran yang tidak logis. Individu yang mengalami depresi cenderung berpikir dengan cara yang menyimpang dimana penyimpangan ini akan menimbulkan masalah baru, memperburuk keadaan yang ada, serta menyebabkan perputaran yang meningkatkan depresi.
Menurut pendekatan kognitif, individu yang mengalami depresi seringkali memiliki koginisi yang negatif, lebih suka memikirkan dirinya sendiri sehubungan dengan masa lalu yang negatif yang mungkin tidak ada hubungannya dengan saat ini dan dengan prediksi keadaan dimasa yang akan datang. Penelitian yang dilakukan oleh Beck menghasilkan suatu kesimpulan bahwa keadan depresi pasti melibatkan suatu gangguan dalam pemikiran. Individu yang mengalami depresi memandang dirinya sebagai seorang yang “kalah”, sebgai pribadi yang tidak mampu, serta sebgai individu yang sudah ditakdirkan akan selalu mengalami frustasi, kekurangan, dan kegagalan (Burns, 1988).
Beck (dalam Carson, 1996) juga menyatakan bahwa pengalaman pada masa kanak-kanak dan remaja berperan penting dalam pembentukan depression-producing beliefs yang dibentuk melalui pengalamannya bersama orang tua dan orang lain yang dianggap penting (significant others). Seorang anak yang tidak memiliki orang tua atau yang mendapat pola asuh yang buruk dari orang tuanya, akan mengembangkan suatu keyakinan yang disebut sebagai deprssogenic schemas. Apabila dysfunctional belief tersebut diaktifkan oleh stressor yang ada pada saat ini, maka inidividu yang bersangkutan akan segera memunculkan negative cognitive triad, yakni suatu keyakinan yang sifatnya pesimistik yang meliputi:
1. pandangan yang negatif terhadap diri sendiri (self)
2. pandang yang negatif terhadap pengalaman dan dunia di sekitarnya
3. pandangan negatif terhadap masa depan
Negative cognitive triad ini cenderung untuk selalu ada pada individu yang mengalami depresi, karena adanya bebeapa distorsi dalam pemikiran orang-orang yang mengalami depresi yang meliputi:
1. Dichotomus or all-or-one reasioning. Adalah suatu kecenderungan untuk berpikir secara ekstrem. Misalnya: “apabila saya tidak dapat mengerjakannya dengan benar 100%, maka lebih baik saya tidak mengerjakannya sama sekali.
2. Selective Abstraction. Adalah kecenderungan untuk memfokuskan pada suatu kejadian negatif dengan mengabaikan elemen yang lainnya. Misalnya: “saya tidak mengalami hal yang menyenangkan hari ini.” Ungkapan tersebut karena individu hanya mengingat hal-hal yang tidak menyenangkan yang dirasakannya hari itu.
3. Arbritary inference. Adalah suatu kecenderungan untuk menyimpulkan sesuatu yang hanya didasarkan pada suatu hal yang kecil. Misalnya penderita depresi yang tidak berhasil menyelesaikan suatu tugas dari terapisnya mengatakan: “terapis ini tidak penah menyelesaikan pemasalahanku”.
4. Overgeneralization. Adalah suatu kecenderungan untuk menarik kesimpulan tentang nilai dan kemampuan sesorang atau suatu fenomena semata-mata berdasarkan pada suatu kejadian atau kejadian-kejadian kecil yang ada di sekelilingnya. Misalnya: “semua yang saya lakukan selalu salah”.
Langganan:
Postingan (Atom)